Tags
Rada susah juga menentukan genre buku yang satu ini. Apakah sebuah fiksi semata (yang diilhami kisah nyata penulisnya sendiri)? Ato sebuah ensiklopedi ringan? Di awal penulisannya, penggambaran suatu situasi, lokasi ataupun orang dilukiskan dengan bahasa2 yang tidak ‘awam’. Antedilivium untuk menggambarkan orang udik. Filicium sendiri adalah pohon kere/kerai, Crineum Giganteum digunakan untuk menggambarkan mimik muka ibu Muslimah guru yang sumringah. dan masih banyak lagi istilah yang sebenarnya lebih dikenali kaum cerdas pandai. Untuk menghindari salah persepsi kah? Aku sih berbaik sangka bahwa buku ini adalah buku yang mengajak cerdas. Think globally (by using latin name than local name), Act locally (tell the world what you have done locally). Masih tentang ensiklopedi. Bab-bab berikutnya akan membuat anda lebih tau tentang salah satu pulau terkaya di indonesia ini. Tidak perlu buka wikipedia, untuk tau budayanya, serta kekayaan alam Belitong. Ga membosankan kok. Ceritanya dibalurkan secara merata di badan buku (kayak balsem). Simak paragraf berikut.
Orang-orang Melayu belitong dan mentalitasnya diceritakan lewat pandangan Ikal tentang budaya Chiong Si Ku ato acara sembahyang rebut. Ini tradisi etnis Tionghoa. Meja berukuran 12 meter panjang dan 2 meter lebar. Di atasnya ditumpuki dengan sembako, barang elektronik dan macam2 lainnya. Door prize terbesar adalah fung pu. Konon katanya ini adalah perlambang hoki. Barangsiapa mendapatkannya bisa menjualnya pada warga tionghoa dengan harga jutaan rupiah. Semua barang tersebut akan diperebutkan oleh ratusan orang. Menurut Ikal, orang Sawang adalah superstar dari acara ini. Punya planning yang bagus (dengan adanya seorang pengintai untuk melacak lokasi fungpu), terorganisir pula dengan beranggotakan 20 orang saja, dan fokus pada tujuan (cuma ambil fung pu itu aja). Masih menurut Ikal, orang Melayu susah berorganisasi. Bukannya fokus untuk memenangkan persaingan tapi berpolitik antara mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada yang mau berintrospeksi. Beroperasi secara individual dan dengan badan remuk redam, cuma mendapatkan barang remeh. Mungkinkah ini sindiran pada bangsa ini yang senang bukan main pada keramaian tidak berguna.
Jika dianggap sebuah novel, ceritanya pun biasa saja. Cerita kecil anak-anak, dengan persahabatannya, kenakalannya di sekolah dan permainan. Lumrah saja. Aku yakin pengalamanku dan anda tidak kalah menariknya dengan pengalaman kecil 11 bandit kecil dari belitong ini. Yang membedakan adalah, Andrea ini bisa merangkai kata hingga tak jemu. Cerita sedih jadi lucu. Cerita lucu yang diselipi moral story. Tak lupa bumbu romansa. Cinta Monyet. Formulanya ini yang ga bisa ditiru. Jika peristiwa, sains dan seni berkata-kata adalah potongan-potongan puzzle, Andrea bisa menggabungkan semuanya untuk menghadirkan sebuah kisah yang inspiratif. Tidak semua dialog Lintang, kupahami. Aku paham itu adalah cara Andrea menggambarkan kejeniusan bocah udik yang tidak beruntung meneruskan sekolah hingga tamat SMP. Simak kisah Lintang yang menempuh 80 Km ke sekolah, melewati rawa dan buaya. Terkutuk benar yang menyia-nyiakan fasilitas pendidikan.
Kemahatololan adalah sebuah kosakata baru dan aku suka kosakata itu. Semoga belum dipatenkan. Akan ada banyak kemahatololan yang dibeberkan di buku ini. Ikuti aja alur cerita si Andrea. Ikutlah hanyut dalam nuasa serius ataupun sedih. Siap2 aja bakalan meledak tertawa dan merasa konyol. Ada beberapa pelajaran moral dari seorang Andrea kecil yang dibagikan untuk anda. Sebagian lucu, tapi semuanya menarik untuk direnungkan. Pahami Teori “Empat Puluh Empat Macam Penyakit Gila” ala ibu Ikal. Itu adalah cara seorang awam menilai ketidaklumrahan disekitarnya. Istriku suka teori itu, dia uda punya julukan untuk orang yang membaca buku ini dan terkekeh2 sendiri. Penyakit Gila no. 9 katanya. Suka ketawa sendiri tapi ga bisa menceritakan apanya yang lucu. Maka demi membatalkan gelar itu, kutulis posting ini. Aku kan waras… 🙂