Tags
PRT alias pekerja rumah tangga atau lazim disebut pembantu. Pembokat adalah nama lainnya. Fungsinya tentu saja membantu pekerjaan rumah tangga. Dari membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika, memasak sampai mengasuh anak-anak atau orang tua. Di jaman sekarang dimana banyak wanita bekerja, tentu saja pembantu layak diperlukan. Fungsinya hampir menggantikan sang ibu di kala sang ibu bekerja di luar rumah.
Dulu, yang namanya pembantu biasanya diambil dari saudara jauh yang kurang beruntung ato anak tetangga di kampung. Dititipkan orang tuanya kepada orang yang dianggap lebih sukses di kota. Saya kurang paham gimana itungan bisnisnya. Tapi sependek yang saya tau di sekitar saya, banyak pembantu jaman dulu (mungkin sekarang umurnya sekitar 40-50 taun) yang mengabdi pada sang juragan. Siap melayani kapanpun. Fasilitas ndak neko-neko sing penting bayaran ada dan boleh pulang (plus disangoni) kalo pas lebaran. Si pembantu sudah dianggap keluarga juragan. Part of the family. Bahkan beberapa diantaranya disungkani oleh anak2 juragan, karena posisinya sebagai pengasuh dikala ibu kandung sedang sibuk. Karena uda dianggap keluarga itulah, jarang ditemui pembantu2 generasi tua ini berpindah lahan. Perkara salary bukan yang utama. Kalo perkara krasan, dan merasa di-wong-ne, itu yang belum tentu ada di tempat lain.
Generasi muda
Ibu saya sempat akan muntab waktu tau pembantu yang masih muda (sekitar 20 taun) menanyakan apakah ada mesin cuci di rumah. “Loh, aku aja nyuci pake tangan. Kok kamu manja pake mesin cuci”, begitu tanyanya gusar. Sang pembantu yang melek teknologi, tentu saja sadar akan efisiensi waktu. “Kalo nyuci pake mesin cuci, kan cepat, bu. Tinggal dimasukkan, beres deh. Apalagi kalo tabungnya tunggal, kalo uda selesai tinggal dijemur saja. Nanti sambil nyuci bisa ditinggal nyapu dan ngepel”, katanya. Hebat ya…pengaruh pendidikan.
Pembantu jaman sekarang pengennya nyuci pake mesin cuci. Bahkan sadar jam kerja yang artinya “saya ndak bisa disuruh2 setelah jam 9 malam”. Juga minta time-off yang artinya “kalo minggu, silakan nyonya kerjakan sendiri”. Wajar sih, karena mereka juga manusia. Tenaga kerja yang sadar akan hak dan kewajibannya. Hanya saja, juragan2 generasi muda dan tua yang ndak paham perubahan ini. Kadang juga salah satu masalah adalah sensitifitas. Misalnya, sang juragan yang ndak puas atas hasil kerja si pembantu, kemudian memperingatkannya. Si pembantu kalo sensitif, akan menganggap galak. Kalo si pembantu ber-“kulit badak”, juragan yang mencak2 karena merasa ga dianggap. Hasilnya bentrokan2 kecil pun timbul dalam rumah tangga. Ntah pembantunya ato juragan yang ndak betah, yang jelas pembantu yang out dari rumah.
Saya dan istri kurang suka jika ada pembantu yang tinggal dalam rumah. Rasanya seperti ga privasi aja. Di samping itu, rumah kami yang mungil, kurang bisa meng-adopsi pembantu full time. Bayangkan saja, jika kami punya 2 kamar berukuran masing2 6m persegi. Kami berempat berdesak2an itu berarti 6m2 / 4 orang, maka ruangan privasi kami cuma 1.5m2 plus kamar mandi. Makanya saya suka dengan model part time. Toh, yang penting kerjaan rumah tangga di rumah kami terselesaikan. Sisanya biarin kami yang kerjain. Toh, namanya pembantu dari kata dasar bantu yang berdefinisi memberikan support.
Pembantu juga manusia
Kali ini ceritanya tentang gosipping. Pembantu kebanyakan adalah perempuan. Dan sepertinya perempuan identik dengan gosipping (sorry ladies… 🙂 ). Ada juga pembantu yang dipecat karena membeberkan kisah rumah tangga di luaran. Suami dan istri uda cukup tau diri, bahwa masalah rumah tangga ya berhenti sampe di depan pintu rumah. Diusahakan ga sampe tetangga itu tau. Kok ya bocornya lewat pembantu. Duh…
Kisah lain, tentang pembantu generasi tua. Kira2 seumuran ibu saya loh. Istri saya aja manggilnya mbah. Simbah ini uda ikut di keluarga B sejak masa bapaknya. Setelah B menikah, simbah ikut dengannya dan mengasuh anak B. Tau sendiri lah, kalo orang tua kadang suka cerita2 masa lalu. Kebutuhannya minta didengar. Eh, ternyata si B ini cuma menganggap simbah cuma pembantu, bukan keluarga. Simbah suka bercerita dengan tetangga yang kebetulan ibu rumah tangga. Ceritanya ya apalagi kalo bukan keluarga B.
Ada lagi yang lain. Seorang teman pengennya punya pembantu dari Jawa. Alasannya, “Murah, Cak. Kalo pembantu yang dari Batam, karena uda tau pasaran mintanya selangit”. Saya kurang paham standar “murah” dan “selangit” yang diucapkan teman saya. Begitu sudah didatengin di Batam, eh beberapa bulan kemudian langsung minta naik gaji “selangit”. Teman saya menduga, “pasti dikomporin temannya”. Di saat dia sedang mencoba bernegosiasi, eh si pembantu sudah nyebrang jadi TKW. Mak…kesel banget teman saya itu. Lebih kesel lagi, pamitnya lewat SMS.
Cerita yang lain. Si pembantu jatuh cinta dengan tetangga. Di-warning ga mempan. Begitu uda mau dipulangin, malah kabur ama pacarnya. Wah, teman saya stress berat karena si pembantu ini titipan dari ibunya. Waks…
Yah, itulah pembantu… banyak segudang kisah yang unik di dalamnya. Setiap orang yang punya pembantu, pasti punya cerita lucu, konyol bahkan njengkelin (misalnya malah nyulik anaknya ato nyuri). Untuk kategori terakhir, itu cuma ulah kriminal yang sedang beralih modus operandi. Sisanya cuma cerita dinamisnya hubungan antar manusia.
Ya itulah PRT. Pembantu rumah tangga sedang bersiap menuju komersialisasi jasanya. Menuntut hak dan kewajibannya layaknya pekerja ato buruh.
Sampean punya cerita unik?